Awal tahun 1990-an merupakan suatu pembukaan era baru yang sangat historis dalam
sejarah dunia modern. Beberapa perkembangan fundamental terjadi pada periode itu baik di
bidang ekonomi maupun di bidang politk strategis. Perkembangan yang luas tersebut sangat
mempengaruhi baik dalam arti politik maupun ekonomi. (Kartadjoemena, 1996: 39) Pada awal
tahun 1990-an pemikiran bahwa mekanisme pasar merupakan instrumen yang efisien untuk
melakukan kegiatan ekonomi semakin diterima secara global. Di samping itu semakin ada
kesadaran mengenai terbatasnya kemampuan sektor pemerintah untuk memecahkan semua
masalah ekonomi. (Kartadjoemena, 1996: 40)
Dengan disahkannya persetujuan umum mengenai tarif dan perdagangan melalui The
General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) yang merupakan perjanjian Internasional di
bidang perdagangan Internasional yang mengikat lebih dari 120 negara ingin menciptakan
suatu perdagangan Internasional yang aman dan jelas bagi masyarakat bisnis, serta untuk
menciptakan liberalisasi perdagangan yang berkelanjutan di dalam penanaman modal,
lapangan kerja dan menciptakan iklim perdagangan yang sehat. (Adolf dan Chandrawulan,
1994: 1)
Perkembangan kehidupan global yang ditandai dengan timbulnya berbagai
kelompok/blok kekuatan kerjasama ekonomi seperti GATT/WTO, Kerjasama Ekonomi Asia
Fasifik (APEC), NAFTA (Persetujuan Perdagangan Bebas Amerika Utara), AFTA menuntut
berbagai negara termasuk Indonesia untuk dapat bergabung dan bekerjasama dengan negaranegara
lain yang tergabung dalam organisasi tersebut. Untuk ruang lingkup yang regional
misalnya Indonesia bergabung dalam kerjasama segitiga pertumbuhan Indonesia-MalaysiaThailad
yang dikenal dengan singkatan IMT-GT. Liberalisasi perdagangan yang akan
dikembangkan sebagai salah satu gagasan yang dilontarkan dalam forum APEC itu, akan
menyatukan berbagai dimensi strategis, tidak hanya segi yuridis dan politis, tetapi juga
menuntut perhatian dan perhitungan strategis secara ideal, filosofis, berkonotasi kepentingan
dan ketahanan Nasional. (Lubis, 1996: 87)
Dalam pelaksanaan persetujuan umum perdagangan Internasional melalui liberalisasi
perdagangan Internasional tentunya masing-masing negara akan berupaya untuk memanfaatkan
berbagai bentuk kerjasama perdagangan untuk dapat memajukan perekonomian negara
masing-masing. Namun apabila ditelaah dari kondisi riel tentang adanya kesenjangan yang
terjadi antara negara-negara maju yang telah berada pada posisi mapan dan unggul, sementara
dipihak lain negara-negara berkembang dan negara terbelakang berada pada posisi lemah,
akibatnya bentuk kesepakatan perdagangan Internasional seperti yang diatur dalam
GATT/WTO, APEC, NAFTA dan lain-lain dikhawatirkan para pengamat akan menjadikan
perangkap bagi negara-negara berkembang dan terbelakang menjadi sasaran eksploitasi
ekonomi negara-negara maju, bahkan lebih jauh negara-negara berkembang dan terbelakang
akan kehilangan kedaulatan dinegaranya sendiri. Indonesia sebagai bagian dari negara-negara
peserta perdagangan Internasional tentunya harus mengkaji secara mendalam dan objektif
kemungkinan dampak positif dan dampak negatif berbagai bentuk kerjasama perdagangan
Internasional yang dilakukan ; adalah perlu kita cermati uraian M. Solly Lubis, yang
menyatakan: jangan sampai Indonesia sekedar menjadi limpahan produk sebagai tempat
pemasaran hasil-hasil industri negara-negara lebih maju, disaat kita sendiri lebih berbenah
untuk pembangunan perdagangan yang bertujuan memperlancar arus barang dan jasa dalam
rangka menunjang peningkatan produksi dan daya saing, meningkatkan pendapatan produsen
terutama produsen hasil pertanian rakyat, dalam rangka peningkatan devisa negara.
0 komentar:
Posting Komentar