Centre for Strategic and International Studies (CSIS) melakukan studi untuk melihat kondisi terbaru pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di Indonesia serta memberikan saran dan rekomendasi yang berguna bagi pengembangan KEK.
Hal ini dipaparkan dalam Seminar Publik Kawasan Ekonomi Khusus Indonesia: Tinjauan Prospek dan Kerangka Kebijakan yang dilaksanakan di Universitas Sumatera Utara (USU), Medan, Selasa (8/9).
Dalam seminar tersebut diadakan diskusi panel membahas Pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus dan Pembangunan Perekonomian. Hadir sebagai pembicara Kepala Departemen Ekonomi CSIS Yose Rizal Damuri, Senior Research Fellow CSIS Raymond Atje, Sekretaris Dewan Nasional KEK Enoh Suharto Pranoto, Dosen Fakultas Ekonomi Bisnis USU Wahyu Ario Pratomo dan Perwakilan KADIN Sumater Utara Tohar Suhartono.
Menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang KEK, pengembangan KEK terdiri atas satu atau beberapa zona, antara lain pengolahan ekspor, logistik, industri, dan pariwisata. Dalam Pasal 3 Ayat 3 UU Nomor 39 Tahun 2009 disebutkan, setiap KEK disediakan lokasi untuk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), serta koperasi.
Sekretaris Dewan Nasional KEK Enoh Suharto Pranoto menyampaikan bahwa spirit KEK dilatarbelakangi oleh upaya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, menarik investasi dan menciptakan lapangan pekerjaan. Peran swasta dalam hal ini sangat dibutuhkan, mengingat adanya keterbatasan dari pihak pemerintah untuk mendanai pembangunan.
Enoh juga menekankan bahwa dalam implementasi pengembangan, KEK tidak hanya dihadapkan pada dinamika yang berfokus pada aspek ekonomi namun juga aspek politik. Aspek politik ini mencakup pada unsur pemerataan dan peningkatan daya saing serta hilirisasi industri.
Hingga tahun ini, pemerintah telah menetapkan delapan KEK. Dari delapan KEK itu, dua KEK sudah beroperasi, yaitu Sei Mangke (Sumatera Utara) dan Tanjung Lesung (Banten), sejak Februari 2015. Sedangkan enam KEK lainnya dalam tahap pembangunan
0 komentar:
Posting Komentar