KEK sebagai Ancaman

https://kawasanekonomikhusus.blogspot.com/2016/01/kek-sebagai-ancaman.html


Di samping kita menelaah KEK sebagai peluang, tentunya program KEK juga
mengandung berbagai kelemahan yang dapat menjadi ancaman bagi negara penerima KEK
termasuk seperti Indonesia. Berbagai aspek yang rentan berbenturan dengan program KEK
perlu mendapat perhatian serius, seperti aspek hukum, aspek sosial budaya, aspek politik
termasuk aspek pertahanan dan keamanan, jadi dengan demikian masalah KEK tidak tepat
apabila kita hanya tinjau dari perspektif keuntungan ekonomi belaka, tapi berbagai aspek
tersebut di atas juga harus mendapat telaahan secara proporsional. (1) Aspek Hukum, dari
aspek hukum, program KEK mutlak harus mendapat kajian, karena bagaimanapun program
KEK tidak terlepas dari landasan hukum yang akan menjadi dasar aturan main (rule of game)
seluruh aktivitas KEK sebagai kegiatan ekonomi khusus tidak mungkin terlepas dari hukum.
Sebagaimana dijelaskan Prof. DR. Bismar Nasution, SH., M.H supaya pembangunan ekonomi
dilakukan berlandaskan hukum. (Nasution, 2004) Implikasi globalisasi ekonomi itu terhadap
hukum tidak dapat dihindarkan, sebab globalisasi hukum mengikuti globalisasi ekonomi
tersebut, dalam arti substansi berbagai Undang-Undang dan perjanjian-perjanjian menyebar
melewati batas-batas negara (cross border), (Nasution, 2004) lebih jauh lagi, apabila ditarik
dari akar filsafat bangsa Indonesia, Pancasila merupakan sumber hukum Indonesia, hal ini
mengandung konsekwensi bahwa hukum di Indonesia itu mengacu kepada Pancasila
(Kabul,2005:53) dengan demikian peraturan-peraturan dalam bentuk dan tingkat apapun harus
mengacu kepada Pancasila atau tidak dibolehkan bertentangan dengan Pancasila sebagai norma
dasar (groundnorm). Apabila program pembangunan KEK ini dikaitkan dengan politik hukum
(legal policy) nasional, maka perlu adanya telaah mendalam dan komprehensif, apakah politik
hukum yang dilaksanakan dalam rangka KEK masih konsisten pada aspirasi dan norma dasar
Pancasila sebagai landasan filosofi sehingga politik hukum yang kita anut bersifat grounded,
atau telah terjadi pergeseran kearah yang pragmatis guna menyahuti keinginan dan permintaan
dari negara maju dan investor pelaksana KEK. Dari berbagai penjelasan (statement) yang
disampaikan para pejabat pemerintah terikat dengan KEK, pemerintah akan berupaya menarik
minat para investor untuk menanamkan modalnya di KEK dengan pemberian berbagai fasilitas
khusus, seperti pemberian kemudahan perizinan usaha, kelonggaran izin lingkungan, aturan
kepabeanan, perpajakan dan pelayanan perdagangan, bahkan KEK akan mendapat otoritas
yang terpisah dari daerah setempat.

Pemberian insentif dan perlakuan khusus, berlebihan ini sebenarnya kurang tepat
apabila ditinjau dari segi kedaulatan hukum Indonesia, namun mengingat kondisi
perekonomian Indonesia yang berada pada posisi lemah, maka Indonesia memilliki
ketergantungan yang tinggi terhadap kehadiran investor-investor asing tersebut. Posisi lemah
Indonesia paling tidak dalam 3 (tiga) hal; pertama, lemah dalam bidang permodalan (capital);
kedua, lemah dalam bidang management, dan ketiga, lemah dalam penguasaan science dan
IPTEK menjadikan kita sulit menghindar dari skenario global ala KEK ini. Menurut teori
ketergantungan (dependency theory) dijelaskan ketika ekonomi di antara dua kutub dalam
perekonomian dunia yang kapitalistik, yakni antara yang mendominasi (dominance) dan yang
terdominasi (dependence) (Wicaksono, 2003:9). Dalam dialektika ekonomi tersebut tentu saja
the dominace terus menerus mengalami surfllus profit, sementara negara yang berada dalam
posisi inferior (the defendence) hanya menikmati surplus pinggiran atau residu yang dari segi
kuantitas tidak sebanding dengan dampak sosial yang timbul akibat proses eksploitasi KEK.
(Wicaksono, 2003:9). Dengan adanya proses perkembangan yang timpang (unequeal
development) tersebut jelas akan memuluskan missi utama kapitalisme dengan berbungkus
baju KEK yaitu: pertama berupaya menguasai bahan mentah melalui eksploitasi besar-besaran
terhadap sumber daya alam; kedua, berusaha memperoleh tenaga kerja/buruh yang murah di
negara dependence; ketiga, berusaha menguasai pasar/market dengan jalan monopoli baik
pembelian maupun penjualan. Kecenderungan ketiga praktek missi kapitalisme di atas sangat
rentan terjadi dalam program KEK di Indonesia apabila kita tidak hati-hati dan bijaksana
merumuskan aturan hukum yang menjadi landasan kegiatan KEK tersebut. (2) Aspek Sosial
Budaya, Negeri-negeri yang sekarang ini disebut negara-negara maju telah menempuh
pembangunannya melalui tiga tingkat: unifikasi, industrialisasi, dan negara kesejateraan. Pada
tingkat pertama yang menjadi masalah berat adalah bagaimana mencapai integrasi politik
untuk menciptakan persatuan dan kesatuan nasinonal. Tingkat kedua, perjuangan untuk
pembangunan ekonomi dan modernisasi politik, akhirnya dalam tingkat ketiga, tugas negara
yang utama adalah melindungi rakyat dari sisi negatif industrialisasi, membetulkan kesalahan
pada tahap sebelumnya, dengan menekankan kesejahteraan masyarakata (Rajagukguk, 1997:2).
Apabila tingkatan perkembangan negara tersebut di atas kita elaborasikan dengan negara
Indonesia, nampaknya agak sulit menentukan pada posisi tingkat mana negara kita saat ini
berada.
Pada tingkat unifakasi yang menekankan pada pencapaian integarasi politik untuk
menciptakan persatuan dan kesatuan nasional, bila di elaborasikan dengan kondisi riel negara
Indonesia saat ini, kita masih tetap berjuang keras untuk menciptakan persatuan dan kesatuan
yang cenderung terusik dengan berbagai tuntutan daerah yang ingin melepaskan diri dari
negara kesatuan RI (lihat kasus Aceh dan Papua). Demikian juga apabila kita kaitkan dengan
tingkatan kedua yaitu untuk menjadi negara industri, lagi-lagi kita tidak punya basic modal
yang kuat. Kelemahan kita dalam bidang permodalan (dana dan equipment), bidang
management (masih tingginya KKN dan Hight Cost Economic) dan lemahnya penguasaan
science dan IPTEK memposisikan negara kita belum mampu naik tingkat ke negara industri,
malahan ironisnya kita sebagai negara agraris pun kehilangan jati diri, sebab walaupun kita
sebutan negara agraris, akan tetapi fakta lain menunjukkan Indonesia adalah negara importir
bahan pangan (beras, jagung, kedelai) terbesar di dunia, sehingga terkadang timbul pertanyaan
kenapa Indonesia sebagai negara agraris malah harus mengimpor bahan pangan untuk
kebutuhan dalam negeri, sungguh menyedihkan bukan. Lain lagi apabila kita elaborasikan
negara Indonesia sebagai negara yang berada pada tingkat ketiga, yang menekankan pada tugas
negara untuk melindungi rakyat dari sisi negative dari industrialisasi, membetulkan kesalahan
pada tahap sebelumnya, dan perwujudan kesejahteraan masyarakat, agaknya saat ini hal
tersebut masih menjadi sesuatu yang utopis, atau angan-angan belaka. Kehadiran KEK disadari
atau tidak akan merobah perilaku masyarakat, dan juga rentan akan terjadinya perbenturan
nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat lokal. Perilaku masyarakat yang semula menganut
nilai-nilai sosial yang tinggi dengan pola culture paguyuban (gemeinschap, gemeinschaft)
dengan nilai dasar mengutamakan pengabdian berobah menjadi pola culture patembayan
(geselschaft, gesellschaf) dengan nilai dasar mengutamakan sifat materialistis. Kecenderungan
perubahan nilai ini juga sangat dipengaruhi perbauran antara budaya asing yang umumnya
sekuler bersinggungan dengan budaya local/daerah yang umumnya religius, terikat adatistiadat,
tatakrama dan kebiasaan lainnya. (3) Aspek Politik dan Keamanan, Pengaruh
(influence) program KEK juga tidak tertutup akan berimbas pada aspek politik dan keamanan.
Dengan adanya perubahan dan perbauran budaya lokal dan budaya asing, apabila tidak
dicermati secara benar dan bijaksana, dapat menimbulkan konflik horizontal yang mengganggu
stabilitas politik dan keamanan. Perubahan nilai dan perilaku sebagian warga masyarakat
kearah materialistis dan sekuleristik (biasanya terimplikasi dalam bentuk kehidupan pergaulan
bebas, hura-hura, minuman keras, narkoba dan lain-lain) tentunya akan mendapat perlawanan
atau penolakan (resistensi) dari kelompok masyarakat yang tetap komit dan berpegang teguh
pada ajaran agama, adat istiadat sebagai pedoman hidupnya.
Kondisi ini akan rentan menimbulkan konflik sosial, lain lagi dengan masalah
perusakan lingkungan hidup akibat dari industri-industri yang akan beroperasi didalam KEK,
yang dikhawatirkan dengan adanya perlakuan-perlakuan khusus yang diberikan kepada
mereka, akan dapat menimbulkan sikap acuh mereka tehadap kewajiban menjaga dan
memelihara kelestarian lingkungan hidup yang juga merupakan hak masyarakat untuk
memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat, bukankah telah banyak pengalaman
kasus yang menunjukkan kepada kita betapa rendahnya kepedulian para pengusaha/investor
dalam memperhatikan dan menjaga keamanan dan kelestarian lingkungan hidup disekitar
tempat mereka berusaha. Selama ini mereka seenaknya melakukan pembalakan hutan,
pencemaran sungai, polusi udara tanpa memikirkan masa depan dan keselamatan umat
manusia. Eksploitasi besar-besaran hasil tambang yang acapkali mengabaikan hak-hak dan
kepentingan masyarakat lokal (lihat kasus PT. Inti Indorayon Utama; PT. Freeport di Papua;
kasus PT. Busang dan lain-lain). Hal lain yang paling rentan menimbulkan konflik dalam
program KEK adalah pemenuhan lahan untuk lokasi KEK yang relatif sangat luas, untuk satu
KEK diperkirakan membutuhkan lahan seluas + 10.000 Ha. Pemenuhan lahan seluas dimaksud
bukanlah merupakan hal yang mudah apalagi mengingat rumitnya masalah pertanahan di
Indonesia yang kian hari semakin rumit. Kondisi ini akan menimbulkan masalah baru.
Berbagai program membangun yang dilakukan baik oleh pemerintah maupun swasta hampir
tak lepas dari permasalahan pertanahan. Tentunya semua ini patut menjadi kajian mendalam
bagi semua pihak terkait dalam program KEK, sehingga KEK tidak menjadi malapetaka bagi
bangsa Indonesia di kemudian hari.
KESIMPULAN
Program Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) sebagai fenomena global sulit untuk
dihempang, karena dalam program KEK terdapat dua pihak yang sebenarnya saling
membutuhkan. Negara-negara maju sangat berkepentingan untuk mengembangkan jangkauan
kegiatan perekonomiannya baik yang dilakukan secara Goverment to Goverment (G to G)
maupun yang dilakukan oleh perusahaan Transnasional sebagai investor; sementara dipihak
negara-negara berkembang atau negara-negara terbelakang pada umumnya membutuhkan
dukungan investasi asing dalam mengolah sumber daya alam yang ada dinegerinya guna
mengembangkan perekonomian negara yang bersangkutan.
Namun dalam pelaksanaannya hubungan kerjasama penanaman investasi asing
mengalami ketimpangan dalam pembagian keuntungan, di mana porsi keuntungan biasanya
jauh lebih besar bagi negara investor, sehingga negara penerima investasi hanya memperoleh
bagian yang sangat minimum; hal ini juga dikhawatirkan dalam praktek KEK yang akan
dilaksanakan. Oleh karena itu pemerintah Indonesia harus mampu memperjuangkan posisi
tawar kita, sehingga dalam pelaksanaan KEK, Indonesia juga memperoleh manfaat keuntungan
yang signifikan dan proporsional, di samping itu Indonesia juga harus terhindar dari sapi
perahan negara maju/investor asing dalam program KEK tersebut.


KEK sebagai Ancaman, Pada: 18.49

0 komentar:

Posting Komentar

Support by: Informasi Gadget Terbaru - Dewa Chord Gitar | Lirik Lagu - Kebyar Info
Copyright © 2015 Kawasan Ekonomi Khusus Design by SHUKAKU4RT - All Rights Reserved